Wednesday 23 October 2019

Menahan Jari, Menahan Diri

Pernah ga kamu lagi scrolling IG misalnya, kemudian menemukan foto yang secara tidak langsung mengusikmu? Bawaannya pengen komentar. Kalau sudah komen, lega gitu rasanya. Atau pernah ga kamu melihat seseorang/sesuatu yang secara tidak langsung mengusikmu? Kemudian kamu ingin sekali update status meluapkan kekesalanmu terhadap orang tersebut? Saya rasa hampir semua pernah ya.

Disini saya bukan mau menggurui atau merasa lebih baik dari siapapun. Saya ingin sedikit menganalisa fenomena yang cukup merebak di kalangan millenials seperti kita. Yupp.. Cyber Bullying.. Makin kesini dunia maya mengambil tempat yang cukup besar di kalangan masyarakat luas.. Pengaruhnya sangat kuat hingga bikin baper para penggunanya.. Tidak peduli apakah orang itu kita kenal atau tidak, kalau sudah komen di postingan kita, mau positif atau negatif, langsung baper. Ini faktanya yang sekarang terjadi.

Nah, sekarang pernahkah kita berpikir jika apa yang kita tulis atau kita komentari memberikan dampak yang sangat kuat bagi orang lain? Padahal kita tidak menganggapnya serius. Hanya bertujuan untuk membuat hati menjadi "Lega". Berbahaya ketika kita melontarkan ungkapan negatif, kemudian orang yang menerimanya menganggap serius dan merasa terintimidasi, namun kita tidak menyadarinya.

Makin kesini manusia makin ingin dilihat dan diperhatikan. Merasa difasilitasi oleh media sosial, mereka tak peduli apa dampaknya. Ketika menghina seseorang, mereka pikir itu hal terkeren yang mereka lakukan di dunia maya. Atau menganggap orang-orang di dunia maya sama dengan orang-orang terdekatnya. Misalnya, saya punya sahabat karib yang cuek dan ga peduli apa kata orang. Saya mengejeknya dan menertawakannya. Saya berani karena saya yakin dia tidak akan tersinggung. Ini tidak akan menimbulkan efek apa-apa. Namun ketika kita berpikiran bahwa orang lain di dunia maya sama dengan sahabat kita tadi, maka kita akan menghina dan melontarkan ujaran kebencian kepada semua orang dengan berbagai karakter yang berbeda. Dampaknya pun akan berbeda.

Ada suatu peristiwa yang membuat saya yakin bahwa Cyber Bullying sangat berdampak bagi jiwa kita. Suatu hari seseorang yang saya kenal menerima pesan dari orang lain dengan kata-kata kasar dan celaan yang ditujukan untuknya. Saat menerima pesan itu saya sedang bersamanya. Dia memperlihatkan pesan itu pada saya. Saya menghiburnya dan mengatakan agar dia bersabar dan ga usah dipikirkan. Dia tersenyum dan bercanda tawa kembali seperti biasa. Tak lama kemudian dia pamit pulang. Sesampainya di depan pintu, tiba-tiba dia terduduk lemah dan tak bisa bangun lagi. Dia tersenyum dan mengatakan bahwa tiba-tiba kakinya merasa lumpuh. Dengan wajah tersenyum dia berusaha bangun namun berkali-kali dicoba tetap tak bisa bangun. Lama kelamaan dengan bantuan, dia pun bisa bangun. Kemudian tangisnya pecah. "Tiba-tiba saya teringat pesan tadi. Ketika ingat itu, jantung saya serasa jatuh dari tempatnya, dan tiba-tiba kaki saya lemah. Saya tidak tahu kenapa," ujarnya menjelaskan. Padahal sejak tadi dia tersenyum dan bercanda.

Pesan yang ia terima adalah pesan yang disampaikan secara pribadi, namun dampaknya bisa sampai merasakan kelumpuhan sesaat. Bayangkan saja kalau pesan yang diterima adalah pesan yang dituliskan di ruang obrolan publik, di kolom komentar, di postingan-postingan yang bisa dilihat semua orang. Kira-kira teman-teman bisa membayangkan dampaknya? Itu baru satu kometar/pesan, kalau dua? Tiga? Puluhan? Ratusan?

Yuk, tahan jari, tahan diri. Lebih baik diam. Meskipun ada kalimat yang terlintas di kepala, jangan ucapkan. Jangan tuliskan. Jangan kirimkan. Karena orang lain tidak sama. Kita tidak sama. Dan semua orang tidak sama.

Mari perbanyak senyum dan menghargai kehidupan orang lain sebagaimana kita mengharapkan agar hidup kita dihargai.

---

Catatan Tambahan
19 Maret 2020: Hari ini saya menemukan quote yang bagus. "Ada suhu di sebuah bahasa. Yang mengatakannya mungkin baik-baik saja. Namun yang mendengarnya merasa terbakar." (Temperature of Language)

Sunday 1 September 2019

Saleha, Tabungan dan Sepeda

Sebenarnya tak pernah ada niatan untuk menulis tentang ini, akan tetapi suka dan dukanya mendorong saya untuk membagi pengalaman tentang proses pencarian sepeda untuk Saleha. Sudah sejak tahun lalu, tepatnya di bulan Agustus 2018, Saleha mengutarakan keinginannya untuk memiliki sepeda.. Saya ingat betul saat itu kami sedang berada dalam Bis menuju Manado. Saat berhenti di daerah Amurang, Bis berjalan lambat karena lalu lintas padat merayap.. Saleha melihat keluar jendela dan menunjuk Toko Sepeda di seberang jalan. Ia berkata, "Abah, nanti abah mau beliin Saleha itu ya, bah!" Terlihat sepeda warna warni terpajang di luar toko.
Abah Saleha tersenyum dan mengatakan, "Saleha berdoa ya semoga abah punya uang untuk beli sepeda."
Saleha nampak girang karena telah diberikan harapan. Dia pun langsung mengangkat tangan tanda bahwa ia sedang berdoa.


Hari demi hari berlalu, Saleha seringkali mengutarakan keinginannya untuk memiliki sepeda. Namun karena saat itu saya sedang hamil tua dan berencana melahirkan di rumah orangtua, sehingga pikiran untuk membeli sepeda dalam waktu dekat tidak terlintas sama sekali. Kebutuhan urgen kami adalah persiapan kelahiran adik Saleha di kampung halaman. Kami pun menghibur Saleha dengan memintanya berdoa pada Allah agar diberikan sepeda. Setiap Saleha minta sepeda, kami menyuruhnya berdoa dan terus berdoa. Berdoa meminta sepeda menjadi rutinitas bagi Saleha.
Setiap ada anak naik sepeda, saya melihat mata saleha berbinar tanda bahwa ia menginginkannya. Namun sejak hamil hingga melahirkan, kami sama sekali tidak punya anggaran untuk membelikan Sepeda. Kami selalu meminta saleha untuk bersabar dan menunggu sampai ada rizki untuk membeli Sepeda yang dia inginkan.


Suatu ketika di bulan Oktober, setelah melahirkan anak kedua, adik saya datang ke rumah orangtua kami berencana menemani saya yang habis melahirkan. Dia datang bersama anaknya yang umurnya satu tahun dibawah saleha. Melihat mereka datang saat itu saleha nampak gembira karena sepupunya punya sepeda. Saleha pun punya kesempatan untuk meminjam sepeda milik sepupunya. Namun setelah sebulan mereka pulang dan Saleha pun terlihat sangat sedih karena mau tak mau sepedanya harus ikut pulang ke Tangerang..


Melihat begitu excited nya saleha dengan Sepeda, sampai-sampai kakeknya Saleha punya keinginan untuk membelikan sepeda. Akan tetapi saya mencegahnya karena kami tidak akan lama dan harus pulang ke Sulut setelah melahirkan. Saleha tipikal anak yang tidak berani meminta atau meminjam barang orang lain, kecuali mereka yang memberikannya. Sehingga setiap saleha melihat anak-anak lain bermain sepeda, dia hanya diam menyaksikan dan tak berani meminjam. Seringkali saya berdoa secara khusus agar Allah memudahkan jalan agar Saleha bisa dapat sepeda. Hingga pada akhirnya kami pulang ke Sulut.


Sepulangnya kami dari kampung halaman, harapan Saleha untuk membeli sepeda semakin menguat. Akan tetapi, selalu saja ada prioritas lain sehingga tidak jadi membeli sepeda. Pada bulan Februari lalu kami pergi ke pasar dan melihat celengan berbentuk beruang. Terlintas dalam benak kami untuk menabung agar bisa membeli sepeda. Kami pun membuat komitmen dengan Saleha, kalau celengannya sudah penuh, kita akan beli sepeda. Saleha pun terlihat girang karena diberikan harapan.
Setiap ada uang kembalian di minimarket atau dari pasar, kami memberikan uang tersebut kepada Saleha agar ditabung. Saleha pun senang karena celengannya terisi sedikit demi sedikit. Bahkan kami membuat perjanjian, tidak akan menggunakan uang logam 1000 rupiah karena harus dimasukkan ke dalam celengan. Hari demi hari Saleha selalu mengisi celengan beruangnya. Meskipun sangat lambat, namun tiada hari tanpa mengisi celengan Saleha. Dia bahkan sering memeluk celengannya dan memperlihatkan pada kakek dan neneknya ketika video call. "Nenek, kakek, ini celengan Saleha untuk beli sepeda," ujar Saleha dengan gembira. Seringkali neneknya mengutarakan ingin mengirim uang untuk beli sepeda. Namun kami mencegahnya, dengan maksud agar saleha terbiasa menabung dan melatih diri untuk bersabar.


Saat Idul Fitri Saleha mendapatkan uang dari para kerabat. Setelah mendapatkan uang tersebut, Saleha selalu mengisinya di celengan. Bulan Juli lalu saya pun mengutarakan kepada abah saleha untuk membuka celengannya. Namun karena celengannya belum penuh, abah saleha menundanya. Hingga pada akhir bulan Agustus 2019, celengan beruang Saleha sudah penuh. Kami pun membuka dan menghitungnya. Namun, uang yang terkumpul hanya Rp 330.000,00, sedangkan harga sepeda diatas 500ribu. Saya melirik abah Saleha dengan ekspresi cukup kecewa, tapi tidak memperlihatkannya di depan Saleha. Saleha nampak sangat gembira karena menurutnya kesempatan untuk membeli sepeda sudah di depan mata. Agar Saleha tidak kecewa, kami tetap akan membelikannya sepeda dengan menambahkan dari kantong pribadi.
Beberapa hari kemudian Saleha mendapatkan rizki yang tak terduga. Ia menerima hadiah uang 300ribu dari tetangga dan kerabat lain. Alhamdulillah. Allah memberikan kemudahan dari jalan yang tak disangka-sangka. Uangnya sudah lebih dari cukup untuk membeli Sepeda.


Beberapa hari kemudian kami pun memutuskan untuk jalan-jalan mencari Sepeda. Kami berhenti di sebuah toko di Bintauna. Disana kami melihat orang-orang sedang berkumpul melihat sepeda yang dijual. Ada sebuah sepeda kecil berwarna ungu dengan keranjang di depannya. Mata Saleha langsung berbinar  dan langsung mencobanya. Namun, Sepeda itu hanya satu-satunya yang ada, dan kebetulan sudah ada yang mau mengambilnya sebelum kami. Saleha pun turun dari sepeda tersebut dengan wajah sedih. Namun kami tidak bisa berbuat apa-apa karena orang lain sudah mengambilnya lebih dulu. Dengan wajah sedih, Saleha melihat sepeda yang dibawa keluar dari toko dan siap dibawa pulang oleh orang lain. Saya merangkul Saleha dan meminta Saleha untuk bersabar dan kita akan cari toko lain. Matanya yang sudah berkaca-kaca tiba-tiba berubah menjadi senang. Karena sudah sore, akhirnya kami pulang ke rumah dan melanjutkan pencarian esok harinya.


Keesokan harinya Saleha pergi bersama Abahnya, mencari-cari toko yang menjual sepeda. Namun hari itu lagi-lagi Saleha harus kecewa. Tidak ada sepeda ukuran Saleha, yang ada hanya yang lebih tinggi ukurannya. Saat berada di toko dan melihat-lihat, Abah menaikkan saleha di sepeda yang tinggi tersebut, dan nampaknya Saleha paham kalau sepeda itu tak cocok untuknya. Ia pun meminta turun dan menarik lengan Abah keluar toko.
"Saleha mau yang itu?" tanya Abah.
Saleha menggeleng, "Itu kebesaran, bah."
"Iya, itu besar. Yang kecil sudah habis," jawab Abah.
Saleha punenimpali, "Ada bah, yang kemarin itu pas pulang dari Ilabulo." (Maksudnya adalah toko yang kemarin didatangi sepulang dari membeli Ilabulo)
"Kan teteh lihat sendiri kemarin sepedanya sudah diambil kakak,"
"Lihat lagi bah, siapa tahu ada," Saleha membujuk abahnya.

Akhirnya abahnya mengajak Saleha ke toko yang kemarin, namun masih tidak ada. Abah mengajak saleha berkeliling melihat-lihat toko yang menjual sepeda, namun tidak ada satupun toko yang menjual sepeda untuk ukuran Saleha. Di perjalanan saat berkeliling, Saleha mengantuk dan tertidur sampai pulang ke rumah.
Sampai di rumah ia masih tertidur. Saya bertanya pada Abah Saleha, bagaimana hasil pencariannya? "Ga ada satupun yang jual. Semua ukurannya besar. Kasihan Saleha," jelas Abah Saleha, sambil menceritakan kejadiannya.


Mendengar itu rasanya hati saya sedih sekali. Melihat Saleha menunggu untuk dapat dibelikan sepeda sejak setahun yang lalu. Mengingat dia berdoa setiap waktu agar diberikan Sepeda. Berusaha menabung recehan selama 6 bulan tanpa bosan karena dengan itu lahir harapan dalam benaknya. Namun saat uang itu sudah terkumpul, Sepeda yang diidamkan malah tidak ada. Hatinya pasti sangat sedih dan kecewa.


Abah Saleha selalu memberikan pengertian bahwa Sepeda yang sesuai dengan umur Saleha belum ada. Saleha harus bersabar. Namun Saleha sempat nyeletuk, "Ga apa-apa bah. Yang besar juga ga apa-apa. Nanti didorong aja sampai Saleha besar." Kalimat itu cukup membuat kami iba. Namun, kami tetap memberikan pengertian agar Saleha selalu bersabar. Insya Allah akan ada saatnya dimana Saleha punya sepeda.


Kami tinggal di Kecamatan kecil yang cukup jauh dari Kabupaten/Kota, sehingga toko yang ada tidak bervariasi. Setiap keluar, abah Saleha melihat-lihat apa sudah ada toko yang menjual sepeda ukuran Saleha. Namun, seminggu berlalu dan tidak ada tanda-tanda adanya produk baru yang dipajang di toko.


Beberapa waktu lalu, kakek Saleha secara tiba-tiba mengirim uang untuk Saleha sebesar 250 Ribu Rupiah. "Kakek mau lihat Saleha naik Sepeda nya, nanti fotoin yah", ujar nenek Saleha melalui WA. Kami sangat bersyukur ada tambahan lagi untuk Saleha dan terkumpul hampir 2 kali lipat dari yang dianggarkan. Melihat hal ini kami pun berusaha mencari walaupun di toko yang lebih jauh dari rumah.


Hari Minggu sore kami pun berangkat mencari Sepeda. Kami berhenti di toko Sepatu dan Tas, dan Alhamdulillah ada Sepeda mungil terpajang disana. Sepeda yang sesuai ukuran Saleha. Ada dua warna, warna biru dan ungu dengan Karakter Sailor Moon. Saleha nampak sangat antusias dan menunjuk sepeda warna biru. Dia pun mencoba menaikinya dan sangat cocok dikendarai oleh Saleha. Kami pun bertanya sekali lagi, "Saleha mau yang ini?" Saleha mengangguk cepat. Dan akhirnya pencarian sepeda untuk Saleha berakhir sampai disini. Kami sangat lega dan cukup tak percaya karena membeli Sepeda bukan prioritas kami. Namun, dengan sendirinya rezeki datang khusus untuk Saleha.


Pengalaman ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi saya khususnya. Bahwa hasil tidak akan mengkhianati proses. Bagaimana Saleha dengan rutinnya mengisi celengan, berdoa, dan berusaha semaksimal mungkin agar keinginannya tercapai. Melatihnya untuk selalu bersabar namun jangan sampai kehilangan harapan. Sehingga setelah mendapatkan sepeda ini rasanya sangat berkesan dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. I'm proud of you my little girl.


Satu lagi pelajaran yang saya ambil, ialah jangan pernah membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Orang lain bisa mendapatkan sesuatu itu karena usahanya. Kita hanya melihat dari luar. Dia punya ini, dia punya itu. Sepertinya gampang banget. Tapi sebenarnya kita tak pernah tau, seberapa banyak tenaga yang mereka keluarkan, sedalam apa kesabaran mereka, dan sesering apa mereka berdo'a hingga peluh dan air mata keluar setiap hari dari tubuhnya. Semua terjadi karena proses yang mungkin tak pernah bisa kita bayangkan.


#SelfReminder

Saturday 13 April 2019

Saleha vs Gadget

Gadget merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh generasi kita saat ini. Saya menyadari bahwa makin hari perkembangan teknologi berkembang sangat cepat. Begitu pula berbagai bentuk komunikasi dan penyampaian informasi saat ini tak luput dari Gadget. Di tulisan ini saya akan menyampaikan sedikit pengalaman saya mengenai tarik-ulur penggunaan Gadget terhadap Saleha sampai akhirnya Saleha sudah terbebas dari Gadget, baik berupa Android hingga PC/Laptop.

Pemberian gadget terhadap Saleha dimulai sejak dia berumur 18 bulan. Saat itu Saleha mulai menghafal Surah-surah pendek, do'a-do'a dan kosakata bahasa Arab. Sebagai ibu yang bangga dengan perkembangan anaknya, saya mencari cara untuk memfasilitasinya. Dan saat itu yang benar-benar membantunya menghafal adalah video hafalan surah yang dikemas dengan visual anak-anak. Saat itu saya download video Upin Ipin sedang mengaji bermacam-macam Surah. Saleha pun nampak antusias dan seperti harapan saya, dia menangkap semuanya dengan cepat. Padahal bicaranya belum fasih, tapi dia sudah tahu  beberapa surah pendek, do'a-do'a dan kosakata bahasa Arab. Ibunya tinggal follow up dan mendokumentasikannya (tetep yaa, ga kelewat 😂).

Lama kelamaan Saleha mulai akrab dengan HP. Yang pada awalnya pegang HP saat diberikan, sudah mulai meminta. Pernah suatu ketika HP tergeletak di atas kasur. Saleha mengambilnya, dan entah bagaimana HP tersebut jatuh ke lantai dalam posisi tengkurap, menyebabkan layarnya retak. Saya datangi beberapa tempat servis HP dan mereka meminta 400-500ribu untuk memperbaikinya. Sebagai emak-emak irit yaaa, saya ga mau keluarkan uang untuk servis HP, sehingga retaknya masih ada sampai sekarang 😂. Dari situlah saya menghentikan pemakaian HP kepada Saleha. (Sudah retak aja baru dihentikan,, gimana sih ibu??)

Sampai tiba saat Saleha genap berumur 2 tahun.  Tak lama kemudian, kabar bahagia datang kepada kami, yaitu kabar bahwa saya sudah mengandung anak kedua. Saat itu kondisi kehamilan saya cukup memprihatinkan. Bukan karena janinnya yang bermasalah, tapi karena fisik saya yang lemah. Kalau orang Manado bilang, "mangidam jaha". Badan lemah, tensi darah rendah, selalu pusing, dan semua yang dimakan selalu dimuntahkan. Akhirnya suami yang menggantikan semua pekerjaan saya plus mengurus saya yang sedang terbaring lemah karena mengidam. Saleha pun mulai mencari perhatian. Akhirnya suami memberikan laptop yang sudah berisi video Upin Ipin, sehingga Saleha bisa anteng dan tidak rewel.

Setelah kehamilan saya menginjak 7 bulan, saya dan Saleha pulang ke rumah orangtua untuk melahirkan. Sesampainya di rumah neneknya, Saleha sudah melupakan gadgetnya. Mungkin karena dia saat itu jadi pusat perhatian dari nenek & kakeknya. Sering diajak jalan-jalan, dibelikan makanan dan mainan kesukaannya. Saleha benar-benar menikmati dunianya sebagai anak polos berumur 2 tahun. Sampai akhirnya saya melahirkan Sheraz, dan 3 bulan kemudian kami harus kembali ke Sulawesi setelah LDR-an cukup lama dengan suami.

Setelah kembali ke Sulawesi, kami kembali dengan kesibukan kami, mulai mengurus anak-anak, mengerjakan pekerjaan rumah sampai menjalankan program tarbiyat anggota. Disinilah gadget kembali mengambil hati Saleha. Karena kami merasa sibuk, kami pun memberikan Laptop yang berisi video Upin Ipin untuk ditonton oleh Saleha. Namun, kami belum menyadari bahwa Saleha sudah berumur 3 tahun. Dia sudah bisa mempertahankan keinginannya dan marah ketika keinginannya tidak terpenuhi. Selama sebulan, kami mengamati perubahan sikap Saleha. Saleha sudah larut dalam gadget. Ketika dipanggil namanya, dia tidak merespon. Dia pun sudah cuek dengan buku-buku dan mainannya. Bahkan ketika diajak jalan-jalan, mandi dan Shalat sekalipun, dia menolak dan memilih menonton Upin Ipin di Laptop. Ketika kami mematikan laptopnya, Saleha mengamuk dan marah-marah. Disitu saya merasa sedih dan menyesal. Kami pun mencari cara untuk membatasi kembali penggunaan laptop baginya.

Pertama, kami mematikan laptop pada waktu Shalat dan mengajak Saleha untuk ikut Shalat berjamaah. Tidak akan dinyalakan laptop kalau tidak ikut shalat. Walaupun pada kenyataannya Saleha tidak shalat khusyuk, masih jalan2 kesana kemari (tau lah ya anak 3 tahun gimana), setidaknya dia sudah teralihkan dari laptop. Awalnya dia menangis keras sampai berteriak, lama kelamaan dia sudah mulai tenang dan mau diajak.

Kedua, sebisa mungkin kami keluar rumah setiap hari. Kunjungan ke rumah anggota atau sekedar jalan-jalan, agar perhatiannya teralihkan. Awalnya dia menolak, namun mengingat bahwa dia akan ditinggalkan, dia pun mulai lunak dan mau ikut.

Ketiga, kami selalu membujuknya untuk bermain dengan tetangga yang sebaya dengannya. Ini sebenarnya paling mudah. Kami panggil anak tetangga masuk ke rumah, dan perhatian Saleha langsung teralihkan. Selama ini anak-anak tersebut yang selalu datang ke rumah sehingga saya pun dapat mengawasinya. Kalaupun keluar, hanya di pekarangan sekitar rumah. Dan otomatis rumah pun jadi berantakan dengan mainan dan buku-buku. Sering juga Saleha setelah bermain di luar masuk ke rumah dalam keadaan kotor bajunya/celananya. Namun, hal tersebut justru membuat saya tenang dan bahagia. Melihat Saleha tumbuh dan berkembang tanpa gadget, sehingga ia mampu bereksplorasi dan berkreasi.

Sampai saat ini kami bertahan untuk menghentikan pemberian gadget pada Saleha. Saleha pun sudah terbiasa, apabila lihat HP dan laptop sekarang dia sudah cuek. Kecuali kalau sedang ikut acara dia lihat temannya main HP, dia ikut nonton, tapi tidak lama. Dia lebih senang bermain dan bersosialisasi, meskipun dia cukup pemalu dan pendiam.

Kita tidak memungkiri keberadaan gadget di masa ini. Apalagi generasi Saleha pasti akan sangat lekat dengan gadget. Lambat laun seiring berjalannya waktu, Saleha pasti akan memiliki dan memanfaatkannya. Tapi bukan sekarang waktunya. Saleha masih kecil dan masih dalam masa-masa emas pertumbuhan/perkembangan. Kami ingin mengisi hari-hari Saleha dengan ingatan yang indah tentang masa kecilnya. Bukan berarti anak-anak lain yang full bermain gadget tidak memiliki kehidupan yang indah. Saya yakin mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas juga, sesuai didikan orangtuanya. Namun, pemberian gadget untuk Saleha sangat tidak efektif karena Saleha jadi kurang merespon, kurang bersosialisasi, dan emosional. Setiap anak pasti berbeda-beda. Mungkin ada yang merasa sangat efektif memberikan gadget, tapi Saleha tidak.

Saya pun tidak merasa paling sukses menghindarkan Saleha dari gadget. Dalam momen-momen tertentu misalnya saat saya menjadi pemateri dalam suatu acara atau ketika menghadiri undangan, saya masih menjadikan gadget sebagai pengalihan agar Saleha tidak bosan dan rewel. Dengan catatan: mode terbang dan hanya nonton video upin ipin (suara di mute/dikecilkan). Namun selesai acara, penggunaan gadget pun dihentikan. Sengaja saya sampaikan dengan gamblang bagaimana beratnya menjaga komitmen yang saya buat sejak dulu. Tarik-ulur pemberian gadget kepada Saleha adalah contoh nyata. Kasih gadget (selama 5 bulan)>>>berhenti total (selama 4 bulan)>>>kasih gadget lagi (selama 4 bulan)>>>berhenti total lagi (selama 5 bulan)>>>kasih lagi (selama 1,5 bulan)>>>berhenti total (sejak awal Maret 2019 sampai sekarang).

Prosesnya cukup lama dan berat, mengingat ini akan sangat emosional baik bagi ibu dan anak. Perjalanan kita masih panjang dan tentunya semua ibu ingin yang terbaik bagi anak. Ibu yang memberikan gadget dan ibu yang tidak memberikan gadget tetaplah ibu yang menyayangi anaknya. STOP Mom Shaming dengan membandingkan pola asuh kita dengan ibu yang lain. Disini saya hanya berbagi pengalaman siapa tau ada ibu yang sama prosesnya seperti saya.

Semangat ya moms..
Mudah-mudahan Allah memberikan karunia yang berlimpah untuk kita semua dan memberikan kesehatan dan kekuatan dalam mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang kita harapkan (generasi islam yang akan berkhidmat untuk agama). Aamiin

Tuesday 26 March 2019

Two Days without You

Malam ini ingin sharing sedikit tentang pengalaman saya yang sebenarnya gak penting-penting amat. Tapi cukup oke lah sebagai penghias blog biar kelihatan banyak tulisannya. Karena beberapa waktu lalu sempat hiatus selama setahun dan membuat saya termotivasi untuk menulis apa saja yang penting ada. Sepintas nampaknya lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas ya?? Ya, gapapa. Mudah-mudahan ada hikmahnya. 😅

Jadi ceritanya saya sedang mengalami suatu krisis yang cukup membuat frustasi terutama bagi generasi milenial. Sudah bisa ditebak donk pastinya. Gak akan jauh-jauh dari gadget. 😁 Ya.. Saya sedang mengalami krisis kuota internet. 😆

Saya adalah pengguna setia salah satu provider sejuta umat (sebut saja T*LK*M*S*L 😂). Jadi, beberapa hari lalu saya cek kuota Flash saya tersisa hanya 150 MB. Dan mulai lah saya gelisah, padahal masa aktif paketnya masih seminggu lagi. Dan saya sadari juga karena bulan ini saya terlalu boros akibat sering di tethering dengan Laptop karena urusan pekerjaan, buka Instagram dan nonton video di YouTube (sok nya ibu yang satu ini,, ga mau buka YouTube Go-yang notabene lebih hemat data-dengan alasan pengen nonton sambil baca-baca komentarnya.. Ya Ampun 😑), sehingga mau tak mau sebelum waktunya, kuota udah habis. Mau bilang ke suami untuk beli paket data lagi, malu. Karena dia punya awet banget. Hehehe

Akhirnya saya memutuskan untuk pasrah dan tidak akan melakukan usaha apa-apa untuk menambah kuota. Walaupun sebenarnya seringkali buka MyTelkomsel berharap ada keajaiban bisa dapat 2GB cuma-cuma tanpa perlu ikut program Daily Check-in selama 30 hari itu lho (hehhe, ngarep). Meskipun pasrah, tapi hati gelisah juga. Frustasi dan ingin segera isi ulang pulsa. Ya Ampun, segitunya ya pengaruh gadget bagi saya?? Jujur saja, ini bukan tentang wara-wiri di medsos atau nonton video, tapi semua pekerjaan saya di organisasi semua bergantung pada WhatsApp Messenger, baik WA grup maupun WA pribadi. Sudah tidak ada lagi SMS atau Telepon manual, semua sudah via online.

Akan tetapi, hati kecil saya ingin mencoba merasakan bagaimana menjalani hidup tanpa gadget samasekali. Penasaran juga. Akhirnya sampai habis kuota, saya pun memutuskan untuk tidak mengisinya. Siang dan sore hari pertama saya lalui dengan rasa penasaran. Buka-buka ponsel padahal tidak ada notifikasi apa-apa. Sampai buka-buka ponsel suami, ingin browsing. Cuma masalahnya, ponsel suami ini udah lama banget, Samsung Galaxy Note 2. Jadi, fungsinya pun sangat lambat dan jadul. RAM 2GB, jaringan 3G. Heran, kenapa dia mampu bertahan selama hampir 5 tahun dengan ponsel itu? Tapi, walaupun dia sudah pakai selama itu, body nya masih mulus aja, dibanding Smartphone saya yang baru dipake setahun (duh,, ku ingin mengadopsi sifatnya yang apik ituu 😭). Hanya sampai dua jam, saya sudah menyerah melihat layar ponsel suami yang datar banget isinya. Wallpapernya pun cukup menyebalkan karena dia pasang foto kami berempat, tapi penampakan saya bukan yang terbaik. Ketika disuruh ganti wallpaper dia tak mau karena katanya cuma itu foto yang lengkap berempat 😑.

Menyerah dengan HP suami, saya pun beralih kembali ke HP saya. Karena saya masih punya 300 lebih kuota SMS tersisa, maka saya iseng saja kirim SMS ke beberapa orang. Isi sms nya cukup penting dan saya rasa kalau di WA akan segera dibalas. Tapi ternyata tidak ada satupun yang balas 😂. Wah, pantas saja selama ini yang SMS saya hanya provider, kode verifikasi akun, dan pesan-pesan sejenis "papa minta pulsa". Saya pun mulai menyadari kehadiran SMS ketika tak ada kuota data, karena selama ini kalau ada SMS sering saya skip karena spam.

Akhirnya sore itu saya membereskan rumah karena Sheraz sedang tidur, dan rumah sangat berantakan dengan mainan Saleha. Saya minta Saleha membereskan mainannya dengan mengambil kardus dan menyuruh Saleha melemparkan mainannya ke dalam kardus sambil membelakanginya. Saya memegangi kardus tersebut dan mengikuti arah kemana Saleha melemparkannya. Setiap lemparan yang tepat mengenai kardus, saya berjanji untuk mencium kedua pipi Saleha dan Saleha pun berhak mencium kedua pipi saya. 😍 Ini pertama kali bagi kami melakukan permainan tersebut, dan saya melihat Saleha sangat menikmatinya. ❤ Akhirnya semua beres. Saya lega karena tidak membutuhkan tenaga berlebih untuk membereskan mainan Saleha seperti biasanya.

Kemudian suami mengajak keluar, dan bertanya-tanya kenapa saya tidak bawa HP? Biasanya selalu bawa. Saya jawab saja dengan ringan kalau kuotanya sudah habis. Suami pun pasang wajah heran. Di wajahnya tersirat beragam pertanyaan, "aneh, koq gak gelisah? Koq gak minta belikan pulsa? Koq gak ini? Koq gak itu?" 😁 Saya cuek saja. Dan malam itu rasanya cukup singkat karena jam 9an saya sudah tertidur pulas. Tanpa cek-cek HP sebelum tidur. Dan keesokan harinya bangun pun cepat.

Hari kedua tanpa gadget, seharian saya mengerjakan pekerjaan rumah, bermain bersama anak-anak dan bercengkrama dengan suami. Membersihkan seisi rumah dan melakukan lebih banyak gerakan dibanding biasanya. Membongkar lemari yang berantakan dan menyusunnya kembali dengan rapi. Bahkan mengulangi permainan beres-beres mainan seperti kemarin dengan Saleha di pagi hari. Kemudian sore hari Saleha mulai mengeluarkan lagi mainannya. Setelah ia selesai bermain, saya menyuruhnya membereskan mainan, dan dia melakukannya sendiri dengan cara yang sama. Bedanya, saya tidak memegangi kardusnya. Ketika semua mainan sudah terkumpul semua, Saleha mendatangi saya dan lapor bahwa mainannya sudah dibereskan. Dia minta dicium kedua pipinya. 💗💗💗 Masya Allah, saya terharu karena jujur saja selama ini Saleha selalu tidak mau disuruh bereskan mainan, sehingga saya sering memunguti mainan yang berserakan sambil ngomel-ngomel dan ujung-ujungnya kelelahan sendiri. 😅

Selepas Shalat Maghrib, saya pun bercerita kepada suami kalau saya merasa dua hari ini hidup saya lebih tenang dan nyaman. Pikiran dan fisik lebih fresh seolah tak ada beban. Saya merasa hidup ini adalah dunia yang nyata seutuhnya. Kebersamaan bersama keluarga pun semakin terasa. Hal inilah yang sudah mulai terlupakan. Selama ini saya sibuk memposisikan diri saya sebagai "orang penting" di bidang saya, sehingga merasa bahwa saya harus pantengin terus WA grup, medsos, dll, takut ada informasi yang tertinggal. Saya lupa bahwa saya punya anak-anak yang hatinya masih bersih, yang ingin hatinya diwarnai dengan kasih sayang dan kemesraan dari orangtuanya. Dua hari tanpa internet membuat saya menyadari bahwa saya justru telah melupakan sesuatu yang sangat berharga, yaitu "keberadaan orang terdekat".

Tak beberapa lama HP berdering, dan ternyata Ny. Mimi menelepon, katanya sejak semalam beliau kirim WA ke saya, ada revisi laporan yang harus saya lihat, tapi WA saya gak aktif-aktif. Saya pun tertawa dan mengakui bahwa saya kehabisan kuota. Mengingat pentingnya WA tersebut, saya pun memutuskan untuk membeli kuota lagi. Hehehe. Memang ya, zaman sekarang internet tak terhindarkan. Karena semua pekerjaan sudah serba online dan komunikasi pun sudah lewat internet. Salah juga apabila kita memutuskan untuk tidak memanfaatkannya sama sekali. Akan tetapi, bagaimana cara kita memanfaatkannya, itu yang terpenting.

Mulai sekarang saya pun bertekad untuk lebih bijak menggunakan internet. Menggunakan sesuai kebutuhan, dan banyak-banyak berhemat karena malu juga, suami lebih hemat penggunaannya. Abahnya Saleha memang benar-benar menggunakan gadget sesuai keperluannya. Patut dicontoh caranya membagi waktu antara gadget dan aktifitas lainnya.

Berusaha menghindari hal-hal yang sia-sia, contohnya scrolling timeline gak jelas dan stalking akun orang lain, apalagi sampai update status yang isinya keluhan-keluhan atau bahkan luapan kemarahan (jangan sampai 😷). Mudah-mudahan internet bisa menjadi sarana bagi kita untuk lebih produktif dalam mengembangkan minat dan bakat yang kita punya. Aamiin

Heyyy internet! Ternyata, "Two Days without You" memberikan pelajaran yang luar biasa ya.. Terimakasih banyak atas pengalaman yang berharga ini. 💗💗💗

***

NB: Saat tulisan ini diposting di blog, sudah tengah malam, karena saya cuma punya kuota malam. Karena memang akhir bulan, jadi belinya kuota malam saja.. hehehhe.. Insya Allah akan ada tulisan review saya tentang penggunaan kuota malam. Apakah efektif bagi saya? 😁

Monday 18 March 2019

"Ibu yang Baper," katanya

Baru selesai berkunjung ke blog nya Bibi Titi Teliti.. Blog ini memang sering saya pantengin sejak dulu.. Gaya bahasanya yang ringan dan cukup 'receh' menjadi nilai plus yang membuat saya tidak bosan membaca semua tulisannya.. Baru-baru ini Teh Erry (sang author) membagikan ceritanya tentang ke-baper-an seorang ibu yang menghadapi putranya yang berusia 9 tahun..

Jadi, ternyata kebanyakan ibu memiliki sudut pandang yang hampir sama mengenai anak-anaknya.. Mereka sudah tahu dan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi perkembangan anak mereka yang lambat laun akan mulai membuat jarak terhadap ibunya.. Akan tetapi, ketika saatnya tiba, mereka pun mulai galau dan terbawa perasaan.. Seolah tidak siap dengan hal tersebut..

Saya memang belum pernah mengalaminya mengingat bahwa Saleha masih berumur 3 tahun.. Namun saya sangat tertarik dengan bahasan ini, dengan maksud agar saya pun mempersiapkan diri seandainya suatu saat saya berada dalam posisi tersebut..

Saya selalu ingat tentang adik bungsu saya yang usianya terpaut 9 tahun dari saya.. Ibu saya selalu memperlihatkan kasih sayangnya dengan menggendongnya, memeluknya saat tidur, dan membelai kepalanya.. Hal itu wajar karena dia masih balita saat itu.. Namun tiba suatu ketika dimana adik saya mulai menjaga jarak dengan ibu.. Ketika sebelumnya ibu saya menunggu di sekolah hingga ia keluar, kemudian ia melarangnya.. Ketika ibu saya ingin menggandeng tangannya saat berjalan, ia pun selalu melepaskannya.. Karena ia mulai merasa dewasa dan malu ketika ibunya memperlakukannya sebagai anak kecil.. Namun disaat seperti ini, justru banyak ibu yang baper, sedih dan galau.. Dan mungkin kalau terjadi pada saya, saya pun akan merasakannya..

Maka Teh Erry berpesan dalam tulisannya untuk selalu menikmati momen saat bersama anak sejak kecil.. Ketika anak mulai banyak tingkah, yang bahkan membuat jengkel.. Ketika semua mainan dikeluarkan dan sulit untuk dirapikan kembali.. Ketika anak menangis dan mencari kita sebagai sandaran.. Momen itu lambat laun akan menghilang seiring perkembangan anak..

Bahkan dalam hal yang sepele pun seperti menggendong anak.. Saya sekarang memang sedang kewalahan karena anak kedua saya memiliki bobot yang lebih berat dibanding Saleha dulu.. Disamping itu, anak-anak saya memang selalu ingin digendong (red: terbiasa digendong).. Ketika bertemu orang lain, banyak yang bilang anak saya "bau tangan", atau "kebiasaan digendong sih".. Bahkan banyak yang mengasihani saya karena kelihatannya lelah selalu menggendong anak.. Namun saya memiliki perspektif yang berbeda dalam hal ini.. Saya merasa menggendong anak saya adalah suatu kenikmatan tersendiri karena suatu saat kegiatan ini hanya akan menjadi kenangan.. Setelah mereka besar dan fisik sudah mulai rapuh, hampir tidak mungkin menggendong mereka..

Banyak hal-hal kecil yang mungkin suatu saat akan menghilang dan tak mungkin untuk dikembalikan.. Namun akan menjadi kenangan yang sangat membahagiakan apabila kita melakukannya dengan benar sejak awal..

You can learn many things from children. How much patience you have, for instance.

~ Franklin P. Jones

Friday 1 March 2019

Beragam Suku yang ada di Sulawesi Utara

Pertama kali saya menginjakkan kaki di Sulawesi Utara pada bulan Agustus 2013. Dan itu adalah kali pertama saya melakukan perjalanan dengan orang baru yang akan terus saya temui setiap hari dan yang selalu dilihat pertama kali saat pagi hari (😅 deskripsinya kepanjangan.. maksudnya itu 'suami')..

Dulu saya beranggapan bahwa penduduk asli Sulawesi Utara hanya satu jenis saja, yang kulitnya putih, perawakannya tinggi besar dan mulus-mulus.. Ternyata,,, tak sesederhana itu.. Mungkin inilah realisasi dari pepatah "Experience is the best teacher".. Karena kalau saya tidak terjun langsung dan mengalaminya, mungkin saya tidak akan pernah tahu secara mendetail keragaman suku bangsa Indonesia ini..

Tahun lalu saya sempat share mengenai suku yang ada di Sulawesi Utara di IG Story, dan responnya lumayan ramai.. Ada beberapa yang DM dan meminta untuk dibuat tulisan lengkap tentang ini.. Akan tetapi karena kesibukan tak berujung dan banyaknya agenda tanpa henti (read: belum ada mood untuk nulis 😂), jadi baru bisa nulis lagi sekarang.. Bisa dilihat dari penampakan blog saya yang sudah lumutan dan penuh sarang laba-laba.. Terakhir nulis tahun 2017 (Lama bangettt.. malu 😳😣)..

Oke kembali ke bahasan Suku.
Sudah sering dengar pastinya kan yaaa, kalau orang-orang Sulawesi Utara terkenal Cantik-cantik dan Percaya diri.. That's right..
Di postingan kali ini saya akan membahas mengenai suku-suku yang ada di Sulawesi Utara.. Namun, ini hanya sebatas yang saya ketahui dan saya temukan saja.. Mungkin sebenarnya ada banyak lagi suku disini yang belum saya ketahui..

***********

1. Suku Mongondow

Suku yang pertama kali saya ketahui dan berinteraksi langsung dengan saya adalah suku Mongondow.. Ya, karena tempat tugas suami saya berada di Kab. Bolaang Mongondow, tepatnya di Desa Konarom, Kec. Dumoga Tenggara.. Lokasinya cukup jauh dari Ibukota Provinsi.. Sekitar 4-5 jam perjalanan darat dari Kota Manado..

Pasti banyak yang belum mengenal Suku Mongondow ya? Yuppp, saya juga baru tahu ada nama Suku Mongondow setelah berada disini.. Dan ini benar-benar pengalaman yang luar biasa bagi saya, bisa mengenal dan berinteraksi dengan Suku Mongondow..

Jadi, Suku Mongondow adalah Suku asli di Sulawesi Utara.. Dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Bolaang Mongondow.. Kalau mau lihat sejarahnya, silahkan Googling saja.. 😊
Mayoritas suku Mongondow beragama Islam..

Bila teman-teman mendengar nama orang seperti Mokoagow, Manopo, Mokodompit, Pontoh, Mokodongan, Damopolii, Mutu, Bahansubu, Mokoginta, Mamonto, yakinlah bahwa mereka adalah Suku Mongondow..
Di Sulut, nama keluarga disebut, "FAM".. Saya sempat berpikir, mungkin ini diambil dari bahasa Inggris Family?
Sama seperti "Marga" di Batak, nama keluarga di Sulut disematkan secara turun temurun melalui garis keturunan laki-laki..

Suku Mongondow sangat menjunjung tinggi "Bobasaan" (read: bo-ba-sa-an) yaitu 'cara menyampaikan sesuatu.. Misalnya, kalau mau mengundang seseorang untuk suatu acara, harus datang langsung ke rumah orang tersebut dan menyampaikan maksudnya dengan bahasa yang jelas dan baik.. Pada intinya, suku Mongondow sangat menjunjung tinggi komunikasi antar sesama, jangan sampai ada kesalahpahaman.

Suku Mongondow khususnya, dan warga Sulawesi Utara umumnya, sangat senang berkumpul dan membuat acara-acara.. Jarang sekali acara dilaksanakan di Gedung dengan Catering/EO.. Kebanyakan acara seperti pesta,dll dilaksanakan di halaman rumah, dan yang memasak dan menyiapkan segala macam akomodasinya adalah para tetangga.. Tak heran jika suku Mongondow sangat menjaga hubungan bertetangga..

Suku Mongondow pun sangat cinta kebersihan.. Ini nyata, karena selalu saya lihat disini orang-orang senang bersih-bersih rumah, dari mulai pekarangan hingga ke dalam rumah.. Mereka punya slogan "Lipu Modarit, Lipu Mosehat" (Kampung bersih, Kampung sehat).. Kota Kotamobagu sudah beberapa kali mendapatkan piala Adipura hingga tahun 2018 ini..

Untuk bahasa memang cukup sulit, karena sangat jauh dengan bahasa kami.. Akan tetapi kami paham sedikit..
Ciri khas bahasa mongondow, huruf "R" dibaca samar seperti pengucapan R dalam bahasa Inggris.. Dan beberapa kata di Sulut adalah serapan dari bahasa Inggris..
Contoh:
Selimut = Blanket
Garpu = Fork
Korek Api = Matches, dll

Itu beberapa bahasa populer di Sulut..
Kalau bahasa asli mongondow contohnya seperti ini:
Moloben (dibaca 'moroben' dengan pelafalan R seperti bahasa Inggris) = Besar.
Mointok = kecil
Molunat = cantik
Mopatu = panas/gerah
Mongaan = makan
Dll..

Untuk masakan, jangan ditanya.. Masakan mongondow luar biasa lezat nyaa.. Lidah saya sangat cocok dengan masakan Sulut. Masakan Sulut kaya akan rempah-rempah dan citarasa pedas.. Makanannya membangkitkan selera.. Yang suka wisata kuliner, saya sangat rekomendasikan makanan khas Sulut.. nilainya 10/10👍👍👍
Ada beberapa masakan khas Sulut yang sudah bisa saya buat sendiri: Ikan Woku Blanga, Sayuran santan, Bubur Manado, Ikan Cakalang fufu Saus, dll..
Adapun masakan yang sangat saya sukai tapi belum coba masak sendiri:
Sambal (perpaduan kentang, kacang tanah, dan daging/ikan, digoreng pakai bumbu khas),
Rica-rica (Baik ayam, daging kambing, danging sapi),
Asam manis (sebenarnya gampang, tapi saya belum coba buat),
Sate garo (daging dipotong dadu2 dengan bumbu kacang khas, rasa bumbunya sangat berbeda dengan sate madura atau sate lainnya),dll..

Mungkin untuk kuliner akan saya buatkan thread khusus nantinya, karena Sulut sangat kaya dengan kuliner khas yang menggugah selera..

2. Suku Minahasa

Kalau suku ini pasti sudah sering dengar kan ya?? 😊 Yupp, suku Minahasa sangat identik dengan Manado, karena suku tersebut tinggal di Manado dan sekitarnya.. Suku Minahasa merupakan suku yang dominan di Sulut..

Suku minahasa memiliki ciri khas yang menonjol secara fisik.. Berbeda dengan warga Indonesia pada umumnya yang berkulit sawo matang dan perawakan mungil/standar, orang-orang di suku Minahasa berkulit putih dan perawakannya tinggi besar.. Selain itu kulit mereka rata-rata sangat mulus..

Sangat jarang kita temui suku Minahasa yang berkulit gelap, kecuali memang campuran dari suku lain atau terkena sinar matahari yang berlebih..

Tidak berbeda jauh dengan Suku Mongondow, orang-orang Minahasa senang berpesta dan bergotong-royong, membuat berbagai acara dan makan bersama..

Kalau saya perhatikan, baik Suku Mongondow dan Minahasa, mereka mudah sekali mengakrabkan diri.. Banyak berbicara dan bercanda.. Seringkali kalau kami datang ke suatu tempat yang sama sekali tak ada orang yang kami kenal, kami tak pernah merasa bosan.. Karena disana kami bertemu orang-orang dan mendengarkan mereka bercerita.. Kami tertawa bersama dan menikmati candaan mereka.. Padahal, itu mungkin pertama dan terakhirnya kami bertemu,, tapi rasanya sudah sangat dekat..

Membicarakan hal-hal yang tabu (bagi kami) adalah hal yang sudah biasa dibicarakan oleh mereka.. Mungkin karena mereka memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, yang jarang dimiliki oleh orang lain.. Namun, hal itulah yang secara tak langsung membuat kami merasa dekat meski baru pertemuan pertama..

Orang Minahasa terkenal sangat pandai memasak.. Kita sering mendengar, apapun bisa dimakan oleh mereka.. Saya sering bertanya-tanya, "bagaimana mungkin mereka memakan semua hewan itu? Yang baunya anyir dan sepertinya tidak enak."
Kuncinya adalah pada bumbu masakannya.. Ya, orang minahasa terkenal bisa membuat bumbu masakan yang luar biasa.. bisa menghilangkan bau anyir dan membuat hewan tersebut enak dimakan.. Saya tidak pernah ikut merasakan, hanya dengar saja.. (Karena kami punya batasan mengenai hewan yang halal dan haram)

Baik suku Mongondow maupun Minahasa sangat memperhatikan penampilan.. Mereka sangat modis dan fashionable.. Bahkan di desa-desa mereka tak ketinggalan tren fashion.. Apapun yang mereka kenakan nampak cocok bagi mereka,, tidak terlihat norak sama sekali..
Begitupun dengan make up..  Kebanyakan dari mereka senang memakai make up dan merawat wajah dan tubuh mereka.. jadi, selalu terlihat bersih dan tidak kusam.. Saya salut dengan orang Sulut yang piawai dalam menjaga kebersihan diri.. Mereka wangi dan selalu terlihat fresh.. 👍👍👍

Nah untuk FAM minahasa yang saya tahu: Mandagi, Tawaa, Masengi, Sondakh, Karamoy, Wowor, Haling, Tahari, Sigar, Tambayong, Tuuk, Tahari, dan banyak lagi yang lainnya.. Biasanya selebritas tanah air dari Sulut kebanyakan orang Minahasa..

3. Suku JaTon

Nah, ada yang namanya suku Jaton ya?? Yuppp.. Jaton adalah singkatan dari Jawa-Tondano.. Tondano adalah nama tempat di daerah Minahasa.. Ini menarik karena suku ini merupakan campuran dari suku Jawa dan Minahasa yang kemudian menjadi suku tersendiri.. Masya Allah.. Indonesia kaya ya??? 🇮🇩

Sejarah singkatnya adalah pada zaman penjajahan Belanda, penasihat setia Pangeran Diponegoro, yaitu Kyai Modjo diasingkan oleh Belanda ke tanah Minahasa.. Kalau kita sering baca sejarah, kita pasti tahu betul bahwa Sulawesi Utara dahulu sering dijadikan tempat pengasingan para pejuang.. Kemudian, para pejuang yang diasingkan ini berbaur dengan suku asli setempat dan mulai melakukan pernikahan sehingga menghasilkan banyak keturunan.. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suku Jaton..

Setelah suami dimutasi ke Desa Doloduo II, Kec. Dumoga Barat, 2 tahun lalu, maka kami pun banyak bergaul debgan suku Jaton.. Suku Jaton juga memiliki nama keluarga/ FAM,, diantaranya Kiay Modjo, Kiay Mastari, Tajeb/Thayeb, Mashanafi, Lakoro Maspeki, dll

Karena memiliki darah pejuang, orang Jaton memiliki kemauan yang keras dan semangat yang kuat.. Kebanyakan orang jaton sangat vokal dan cerdas..

4. Suku Gorontalo

Meskipun Gorontalo merupakan provinsi diluar Sulawesi Utara, namun dahulu Gorontalo merupakan bagian dari Sulut, sehingga keberadaab suku Gorontalo di Sulut sudah seperti suku asli.. Contohnya di daerah Bolaang Mongondow Selatan perbatasan dan Bolaang Mongondow Utara perbatasan, nama-nama tempat dan bahasa diambil dari nama-nama atau bahasa Gorontalo..

Suku Gorontalo memiliki legenda yang menyebutkan bahwa leluhur mereka berasal dari keturunan hulontalangi, atau orang yang turun dari langit, dan awalnya berdiam di gunung Tilongkabila, Bone Bolango.. Nama Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan Gorontalo..

Suku ini memiliki bahasa dan dialek tersendiri, namun sampai saat ini saya belum paham bahasanya.. Mayoritas suku Gorontalo beragama Islam.. Dan seperti suku lainnya, mereka senang bergotongroyong dan memiliki jiwa sosial yang tinggi..

Untuk makanan khas nya tak kalah juga.. Saya sangat menyukai Binthe Biluhuta atau biasa disebut Milu Siram,, dan Ilabulo (orang mongondow menyebutnya Inambal).. ilabulo ini enak sekali, suami saya sampai punya penjual langganan.. harganya pun murah.. hanya 3ribu..

Bila penasaran,, silahkan googling dulu . Hehehheeh

5. Suku Sangir (dibaca Sanger)

Suku sangir merupakan suku asli di Sulawesi Utara.. Orang sangir membangun perkampungan di tepi laut dekat muara sungai.. Sebagian lagi memilih tinggal di lereng-lereng bukit atau pegunungan.. Kebanyakan bekerja sebagai nelayan di laut, dan sebagian memperoleh hasil pertanian di ladang..

Orang sangir dikenal sangat pemberani dan menguasai lautan.. Memang suku sangir banyak berdiam di kepulauan-kepulauan di daerah Sulut.. itu lhoo,, yang pulau-pulau kecil dekat Philipina.. hebat yaaa?

Tak banyak yang saya ketahui tentang suku sangir, hanya ada dua orang kakak beradik yang saya kenal bermarga Hontong..

***********

Selain suku-suku Asli di Sulawesi Utara, banyak juga suku pendatang yang merantau dan tinggal disini.. Jumlahnya pun sangat banyak, yaitu Suku Bugis, suku Jawa, Bali, dan bahkan Sunda pun ada.. 😊

Suami saya pun pernah bertemu dengan Suku Borgo, suku asli keturunan Portugis..

Kalau sering lihat videonya pak Presiden RI (Jokowi) saat blusukan, Jokowi sering menyebutkan ada begitu banyak Suku di Indonesia, dan selalu meminta menyebutkan 5 saja yang kita ketahui.. Seandainya saya ikutan, mungkin saya bisa dapat sepeda.. hehehehhe

Sangat bersyukur bisa tinggal dan menetap disini.. Banyak ilmu yang kami dapatkan dan pengalaman yang tak ternilai harganya.. Keberagaman bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang harus kita syukuri bersama..

Tuhan begitu kuasa menciptakan bangsa yang sangat beragam ini.. Dengan berbagai bahasa, karakter, dan kebudayaannya, namun bisa membentuk satu bangsa yang besar.. Salut kepada pemimpin negeri yang mampu mengayomi semua kalangan tanpa memandang suku, bahasa dan agama..

Semakin kita menggali, semakin banyak yang kita temukan..

Cinta Sulawesi Utara, Cinta Indonesia 💗💗💗💗💗

*Nb: ingin nambah foto-foto tapi harus cari2 dulu di memori 😁

Tuesday 24 January 2017

Marie Eugenie vs Marie Anne: Kecemerlangan vs Kekurangan

Di postingan kali ini saya akan menyuguhkan dua kisah yang akan dijadikan perbandingan

Kisah tentang Marie Eugenie istri dari Napoleon III

Marie Eugenie Ignac Agustine de Montiyo adalah wanita paling cantik di selruh dunia pada masanya. Ia merupakan anak dari Adipati Spanyol yang tak begitu terkemuka. Kejelitaan, keindahan, dan sikapnya yang menawan membuat Napoleon III dari Prancis jatuh cinta padanya.

Naoleon  dan permaisuinya danugerahi kesehatan yang baik, dicintai, dan dikagumi. Naoleon berhail menjadikan Eugenie seorang maharatu. Namun, Marie Eugenie memiliki sifat iri dan dengki yang tak dapat disembuhkan bahkan oleh cinta, kekuasaan, dan singgasananya.

Marie Eugenie menjadi setengah gila karena iri hati dan cemburu. Ia tenggelam dalam kecurigaan dan menolak usul-usul suaminya. Raja Napoleon III tak bisa sendirian karena dimanapun ia berada, Eugenie harus selalu ada di sampingnya. Jika sang Raja sedang membicarakan urusan-urusan negara di ruang kerjanya, Eugenie memaksa harus masuk. Ia takut sang Raja menaruh hati pada wanita lain.

Kadang-kadang ia mengadu pada kakak perempuannya tentang suaminya. Ia menangis dan mengancam-ngancam. Ia pun meyerbu masuk ke kamar suamiya dan membuat kegaduhan. Ia meghina-hina suaminya. Napoleon pemilik sepuluh istana, tak mempunyai suatu lemaripun yang ia bisa kuasai sendiri.

Maka dari itu, Napoleon pada malam hari kadang-kadang meninggalkan istananya, lewat pintu belakang. Ia mengenakan topi vilt yang ditutupkan di atas matanya, dan bersama kepercayaannya mengunjungi seorang wanita yang menunggunya. Akan tetapi, kadang-kadang ia pun seperti masa-masa dulu. Menjelajahi lorong-lorong sambil merenungkan nasibnya yang malang itu.

Kisah tentang Mary Anne, istri Disraeli

Disraeli menjadi bujangan hingga umur 35 tahun di Inggris. Kemudian ia menikahi janda kaya yang umurnya 15 tahun lebih tua darinya. Rambutnya sudah putih karena sudah berumur 50 tahun. Tidak muda, tidak cantik, dan tidak juga intelek. Sebaliknya, Mary Anne selalu mengalami kesalahan saat berbicara di bidang grammatika dan sejarah, sehingga banyak yang menertawakannya. Ia tak tahu, mana yang lebih dulu muncul di panggung sejarah, orang-orang Yunani atau Romawi.

Pakaiannya agak aneh, rumahnya juga aneh. Orang-orang melihatnya sebagai orang yang bodoh. Namun, dalam pernikahan, ia cukup gemilang. Ia tahu bahwa ia tak cukup pintar seperti suaminya. Jika Disraeli pulang dari memperbincangkan urusan-urusan negara, agak muram dan tak bersemangat, maka Mary Anne tak mengganggunya dengan pertanyaan yang bukan-bukan. Ia mempersilahkan suaminya beristirahat. Rumahnya menjadi tempat bagi suaminya untuk melepas lelah dan mengistirahatkan otaknya. Disraeli merasa bahagia jika berada di rumah bersama istrinya.

Mary Anne adalah pembantu, kepercayaan, dan penasihatnya. Setiap malam Disraeli cepat-cepat pulang dari parlemen untuk menyampaikan berita hangat kepada istrinya. Istrinya selalu memberikan dukungan dan semangat pada suaminya.

30 tahun lamanya, Mary Anne hidup semata-mata untuk Disraeli. Ketika diangkat menjadi Lord, Disraeli memeluk istrinya dan berkata, "Sayangku, sekarang engkau adalah Lady Beaconfield."

Betapapun bodoh dan anehnya istrinya itu, Disraeli tidak pernah berkata apa-apa. Tak pernah ia menunjukkan kesalahan-kesalahan istrinya walau dengan satu kata pun. Mary Anne dan Disraeli, saling memuji satu sama lain. Tak ada yang merasa dikekang. Tak ada pula yang ingin merubah sifat yang lain.

----------

Dari dua kisah diatas kita bisa membandingkan, bahwa harta dan kekuasaan bukanlah tolok ukur kebahagiaan. Harta dan kekuasaan tak mampu menyembuhkan sifat iri hati dan cemburu seseorang. Kejelitaan dan keindahan paras tak bisa mengobati perasaan tertekan.

Kisah Marie Eugenie cukup menjadi bukti nyata, bahwa api cinta yang membara di awal lambat laun akan redup dan menyisakan abu. Pasangan paling serasi yang diidamkan justru saling merasa kesepian. Masing-masing merasa tertekan. Yang satu tertekan oleh kecemburuan, yang satunya lagi tertekan oleh pengekangan. Membaca kisahnya menimbulkan kesedihan dan rasa iba yang mendalam.

Lain halnya dengan Mary Anne, yang dengan segala kekurangannya, ia mengantarkan suaminya menuju gerbang kesuksesan. Kulitnya yang sudah keriput termakan usia justru menjadi pelepas lelah suaminya. Bahkan kebodohan dan ketidak-tahuannya tak membuat suaminya malu dan bahkan tak ingin merubahnya. Bukankah kisah kedua ini yang menjadi dambaan kita semua?