Tuesday 26 March 2019

Two Days without You

Malam ini ingin sharing sedikit tentang pengalaman saya yang sebenarnya gak penting-penting amat. Tapi cukup oke lah sebagai penghias blog biar kelihatan banyak tulisannya. Karena beberapa waktu lalu sempat hiatus selama setahun dan membuat saya termotivasi untuk menulis apa saja yang penting ada. Sepintas nampaknya lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas ya?? Ya, gapapa. Mudah-mudahan ada hikmahnya. 😅

Jadi ceritanya saya sedang mengalami suatu krisis yang cukup membuat frustasi terutama bagi generasi milenial. Sudah bisa ditebak donk pastinya. Gak akan jauh-jauh dari gadget. 😁 Ya.. Saya sedang mengalami krisis kuota internet. 😆

Saya adalah pengguna setia salah satu provider sejuta umat (sebut saja T*LK*M*S*L 😂). Jadi, beberapa hari lalu saya cek kuota Flash saya tersisa hanya 150 MB. Dan mulai lah saya gelisah, padahal masa aktif paketnya masih seminggu lagi. Dan saya sadari juga karena bulan ini saya terlalu boros akibat sering di tethering dengan Laptop karena urusan pekerjaan, buka Instagram dan nonton video di YouTube (sok nya ibu yang satu ini,, ga mau buka YouTube Go-yang notabene lebih hemat data-dengan alasan pengen nonton sambil baca-baca komentarnya.. Ya Ampun 😑), sehingga mau tak mau sebelum waktunya, kuota udah habis. Mau bilang ke suami untuk beli paket data lagi, malu. Karena dia punya awet banget. Hehehe

Akhirnya saya memutuskan untuk pasrah dan tidak akan melakukan usaha apa-apa untuk menambah kuota. Walaupun sebenarnya seringkali buka MyTelkomsel berharap ada keajaiban bisa dapat 2GB cuma-cuma tanpa perlu ikut program Daily Check-in selama 30 hari itu lho (hehhe, ngarep). Meskipun pasrah, tapi hati gelisah juga. Frustasi dan ingin segera isi ulang pulsa. Ya Ampun, segitunya ya pengaruh gadget bagi saya?? Jujur saja, ini bukan tentang wara-wiri di medsos atau nonton video, tapi semua pekerjaan saya di organisasi semua bergantung pada WhatsApp Messenger, baik WA grup maupun WA pribadi. Sudah tidak ada lagi SMS atau Telepon manual, semua sudah via online.

Akan tetapi, hati kecil saya ingin mencoba merasakan bagaimana menjalani hidup tanpa gadget samasekali. Penasaran juga. Akhirnya sampai habis kuota, saya pun memutuskan untuk tidak mengisinya. Siang dan sore hari pertama saya lalui dengan rasa penasaran. Buka-buka ponsel padahal tidak ada notifikasi apa-apa. Sampai buka-buka ponsel suami, ingin browsing. Cuma masalahnya, ponsel suami ini udah lama banget, Samsung Galaxy Note 2. Jadi, fungsinya pun sangat lambat dan jadul. RAM 2GB, jaringan 3G. Heran, kenapa dia mampu bertahan selama hampir 5 tahun dengan ponsel itu? Tapi, walaupun dia sudah pakai selama itu, body nya masih mulus aja, dibanding Smartphone saya yang baru dipake setahun (duh,, ku ingin mengadopsi sifatnya yang apik ituu 😭). Hanya sampai dua jam, saya sudah menyerah melihat layar ponsel suami yang datar banget isinya. Wallpapernya pun cukup menyebalkan karena dia pasang foto kami berempat, tapi penampakan saya bukan yang terbaik. Ketika disuruh ganti wallpaper dia tak mau karena katanya cuma itu foto yang lengkap berempat 😑.

Menyerah dengan HP suami, saya pun beralih kembali ke HP saya. Karena saya masih punya 300 lebih kuota SMS tersisa, maka saya iseng saja kirim SMS ke beberapa orang. Isi sms nya cukup penting dan saya rasa kalau di WA akan segera dibalas. Tapi ternyata tidak ada satupun yang balas 😂. Wah, pantas saja selama ini yang SMS saya hanya provider, kode verifikasi akun, dan pesan-pesan sejenis "papa minta pulsa". Saya pun mulai menyadari kehadiran SMS ketika tak ada kuota data, karena selama ini kalau ada SMS sering saya skip karena spam.

Akhirnya sore itu saya membereskan rumah karena Sheraz sedang tidur, dan rumah sangat berantakan dengan mainan Saleha. Saya minta Saleha membereskan mainannya dengan mengambil kardus dan menyuruh Saleha melemparkan mainannya ke dalam kardus sambil membelakanginya. Saya memegangi kardus tersebut dan mengikuti arah kemana Saleha melemparkannya. Setiap lemparan yang tepat mengenai kardus, saya berjanji untuk mencium kedua pipi Saleha dan Saleha pun berhak mencium kedua pipi saya. 😍 Ini pertama kali bagi kami melakukan permainan tersebut, dan saya melihat Saleha sangat menikmatinya. ❤ Akhirnya semua beres. Saya lega karena tidak membutuhkan tenaga berlebih untuk membereskan mainan Saleha seperti biasanya.

Kemudian suami mengajak keluar, dan bertanya-tanya kenapa saya tidak bawa HP? Biasanya selalu bawa. Saya jawab saja dengan ringan kalau kuotanya sudah habis. Suami pun pasang wajah heran. Di wajahnya tersirat beragam pertanyaan, "aneh, koq gak gelisah? Koq gak minta belikan pulsa? Koq gak ini? Koq gak itu?" 😁 Saya cuek saja. Dan malam itu rasanya cukup singkat karena jam 9an saya sudah tertidur pulas. Tanpa cek-cek HP sebelum tidur. Dan keesokan harinya bangun pun cepat.

Hari kedua tanpa gadget, seharian saya mengerjakan pekerjaan rumah, bermain bersama anak-anak dan bercengkrama dengan suami. Membersihkan seisi rumah dan melakukan lebih banyak gerakan dibanding biasanya. Membongkar lemari yang berantakan dan menyusunnya kembali dengan rapi. Bahkan mengulangi permainan beres-beres mainan seperti kemarin dengan Saleha di pagi hari. Kemudian sore hari Saleha mulai mengeluarkan lagi mainannya. Setelah ia selesai bermain, saya menyuruhnya membereskan mainan, dan dia melakukannya sendiri dengan cara yang sama. Bedanya, saya tidak memegangi kardusnya. Ketika semua mainan sudah terkumpul semua, Saleha mendatangi saya dan lapor bahwa mainannya sudah dibereskan. Dia minta dicium kedua pipinya. 💗💗💗 Masya Allah, saya terharu karena jujur saja selama ini Saleha selalu tidak mau disuruh bereskan mainan, sehingga saya sering memunguti mainan yang berserakan sambil ngomel-ngomel dan ujung-ujungnya kelelahan sendiri. 😅

Selepas Shalat Maghrib, saya pun bercerita kepada suami kalau saya merasa dua hari ini hidup saya lebih tenang dan nyaman. Pikiran dan fisik lebih fresh seolah tak ada beban. Saya merasa hidup ini adalah dunia yang nyata seutuhnya. Kebersamaan bersama keluarga pun semakin terasa. Hal inilah yang sudah mulai terlupakan. Selama ini saya sibuk memposisikan diri saya sebagai "orang penting" di bidang saya, sehingga merasa bahwa saya harus pantengin terus WA grup, medsos, dll, takut ada informasi yang tertinggal. Saya lupa bahwa saya punya anak-anak yang hatinya masih bersih, yang ingin hatinya diwarnai dengan kasih sayang dan kemesraan dari orangtuanya. Dua hari tanpa internet membuat saya menyadari bahwa saya justru telah melupakan sesuatu yang sangat berharga, yaitu "keberadaan orang terdekat".

Tak beberapa lama HP berdering, dan ternyata Ny. Mimi menelepon, katanya sejak semalam beliau kirim WA ke saya, ada revisi laporan yang harus saya lihat, tapi WA saya gak aktif-aktif. Saya pun tertawa dan mengakui bahwa saya kehabisan kuota. Mengingat pentingnya WA tersebut, saya pun memutuskan untuk membeli kuota lagi. Hehehe. Memang ya, zaman sekarang internet tak terhindarkan. Karena semua pekerjaan sudah serba online dan komunikasi pun sudah lewat internet. Salah juga apabila kita memutuskan untuk tidak memanfaatkannya sama sekali. Akan tetapi, bagaimana cara kita memanfaatkannya, itu yang terpenting.

Mulai sekarang saya pun bertekad untuk lebih bijak menggunakan internet. Menggunakan sesuai kebutuhan, dan banyak-banyak berhemat karena malu juga, suami lebih hemat penggunaannya. Abahnya Saleha memang benar-benar menggunakan gadget sesuai keperluannya. Patut dicontoh caranya membagi waktu antara gadget dan aktifitas lainnya.

Berusaha menghindari hal-hal yang sia-sia, contohnya scrolling timeline gak jelas dan stalking akun orang lain, apalagi sampai update status yang isinya keluhan-keluhan atau bahkan luapan kemarahan (jangan sampai 😷). Mudah-mudahan internet bisa menjadi sarana bagi kita untuk lebih produktif dalam mengembangkan minat dan bakat yang kita punya. Aamiin

Heyyy internet! Ternyata, "Two Days without You" memberikan pelajaran yang luar biasa ya.. Terimakasih banyak atas pengalaman yang berharga ini. 💗💗💗

***

NB: Saat tulisan ini diposting di blog, sudah tengah malam, karena saya cuma punya kuota malam. Karena memang akhir bulan, jadi belinya kuota malam saja.. hehehhe.. Insya Allah akan ada tulisan review saya tentang penggunaan kuota malam. Apakah efektif bagi saya? 😁

Monday 18 March 2019

"Ibu yang Baper," katanya

Baru selesai berkunjung ke blog nya Bibi Titi Teliti.. Blog ini memang sering saya pantengin sejak dulu.. Gaya bahasanya yang ringan dan cukup 'receh' menjadi nilai plus yang membuat saya tidak bosan membaca semua tulisannya.. Baru-baru ini Teh Erry (sang author) membagikan ceritanya tentang ke-baper-an seorang ibu yang menghadapi putranya yang berusia 9 tahun..

Jadi, ternyata kebanyakan ibu memiliki sudut pandang yang hampir sama mengenai anak-anaknya.. Mereka sudah tahu dan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi perkembangan anak mereka yang lambat laun akan mulai membuat jarak terhadap ibunya.. Akan tetapi, ketika saatnya tiba, mereka pun mulai galau dan terbawa perasaan.. Seolah tidak siap dengan hal tersebut..

Saya memang belum pernah mengalaminya mengingat bahwa Saleha masih berumur 3 tahun.. Namun saya sangat tertarik dengan bahasan ini, dengan maksud agar saya pun mempersiapkan diri seandainya suatu saat saya berada dalam posisi tersebut..

Saya selalu ingat tentang adik bungsu saya yang usianya terpaut 9 tahun dari saya.. Ibu saya selalu memperlihatkan kasih sayangnya dengan menggendongnya, memeluknya saat tidur, dan membelai kepalanya.. Hal itu wajar karena dia masih balita saat itu.. Namun tiba suatu ketika dimana adik saya mulai menjaga jarak dengan ibu.. Ketika sebelumnya ibu saya menunggu di sekolah hingga ia keluar, kemudian ia melarangnya.. Ketika ibu saya ingin menggandeng tangannya saat berjalan, ia pun selalu melepaskannya.. Karena ia mulai merasa dewasa dan malu ketika ibunya memperlakukannya sebagai anak kecil.. Namun disaat seperti ini, justru banyak ibu yang baper, sedih dan galau.. Dan mungkin kalau terjadi pada saya, saya pun akan merasakannya..

Maka Teh Erry berpesan dalam tulisannya untuk selalu menikmati momen saat bersama anak sejak kecil.. Ketika anak mulai banyak tingkah, yang bahkan membuat jengkel.. Ketika semua mainan dikeluarkan dan sulit untuk dirapikan kembali.. Ketika anak menangis dan mencari kita sebagai sandaran.. Momen itu lambat laun akan menghilang seiring perkembangan anak..

Bahkan dalam hal yang sepele pun seperti menggendong anak.. Saya sekarang memang sedang kewalahan karena anak kedua saya memiliki bobot yang lebih berat dibanding Saleha dulu.. Disamping itu, anak-anak saya memang selalu ingin digendong (red: terbiasa digendong).. Ketika bertemu orang lain, banyak yang bilang anak saya "bau tangan", atau "kebiasaan digendong sih".. Bahkan banyak yang mengasihani saya karena kelihatannya lelah selalu menggendong anak.. Namun saya memiliki perspektif yang berbeda dalam hal ini.. Saya merasa menggendong anak saya adalah suatu kenikmatan tersendiri karena suatu saat kegiatan ini hanya akan menjadi kenangan.. Setelah mereka besar dan fisik sudah mulai rapuh, hampir tidak mungkin menggendong mereka..

Banyak hal-hal kecil yang mungkin suatu saat akan menghilang dan tak mungkin untuk dikembalikan.. Namun akan menjadi kenangan yang sangat membahagiakan apabila kita melakukannya dengan benar sejak awal..

You can learn many things from children. How much patience you have, for instance.

~ Franklin P. Jones

Friday 1 March 2019

Beragam Suku yang ada di Sulawesi Utara

Pertama kali saya menginjakkan kaki di Sulawesi Utara pada bulan Agustus 2013. Dan itu adalah kali pertama saya melakukan perjalanan dengan orang baru yang akan terus saya temui setiap hari dan yang selalu dilihat pertama kali saat pagi hari (😅 deskripsinya kepanjangan.. maksudnya itu 'suami')..

Dulu saya beranggapan bahwa penduduk asli Sulawesi Utara hanya satu jenis saja, yang kulitnya putih, perawakannya tinggi besar dan mulus-mulus.. Ternyata,,, tak sesederhana itu.. Mungkin inilah realisasi dari pepatah "Experience is the best teacher".. Karena kalau saya tidak terjun langsung dan mengalaminya, mungkin saya tidak akan pernah tahu secara mendetail keragaman suku bangsa Indonesia ini..

Tahun lalu saya sempat share mengenai suku yang ada di Sulawesi Utara di IG Story, dan responnya lumayan ramai.. Ada beberapa yang DM dan meminta untuk dibuat tulisan lengkap tentang ini.. Akan tetapi karena kesibukan tak berujung dan banyaknya agenda tanpa henti (read: belum ada mood untuk nulis 😂), jadi baru bisa nulis lagi sekarang.. Bisa dilihat dari penampakan blog saya yang sudah lumutan dan penuh sarang laba-laba.. Terakhir nulis tahun 2017 (Lama bangettt.. malu 😳😣)..

Oke kembali ke bahasan Suku.
Sudah sering dengar pastinya kan yaaa, kalau orang-orang Sulawesi Utara terkenal Cantik-cantik dan Percaya diri.. That's right..
Di postingan kali ini saya akan membahas mengenai suku-suku yang ada di Sulawesi Utara.. Namun, ini hanya sebatas yang saya ketahui dan saya temukan saja.. Mungkin sebenarnya ada banyak lagi suku disini yang belum saya ketahui..

***********

1. Suku Mongondow

Suku yang pertama kali saya ketahui dan berinteraksi langsung dengan saya adalah suku Mongondow.. Ya, karena tempat tugas suami saya berada di Kab. Bolaang Mongondow, tepatnya di Desa Konarom, Kec. Dumoga Tenggara.. Lokasinya cukup jauh dari Ibukota Provinsi.. Sekitar 4-5 jam perjalanan darat dari Kota Manado..

Pasti banyak yang belum mengenal Suku Mongondow ya? Yuppp, saya juga baru tahu ada nama Suku Mongondow setelah berada disini.. Dan ini benar-benar pengalaman yang luar biasa bagi saya, bisa mengenal dan berinteraksi dengan Suku Mongondow..

Jadi, Suku Mongondow adalah Suku asli di Sulawesi Utara.. Dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Bolaang Mongondow.. Kalau mau lihat sejarahnya, silahkan Googling saja.. 😊
Mayoritas suku Mongondow beragama Islam..

Bila teman-teman mendengar nama orang seperti Mokoagow, Manopo, Mokodompit, Pontoh, Mokodongan, Damopolii, Mutu, Bahansubu, Mokoginta, Mamonto, yakinlah bahwa mereka adalah Suku Mongondow..
Di Sulut, nama keluarga disebut, "FAM".. Saya sempat berpikir, mungkin ini diambil dari bahasa Inggris Family?
Sama seperti "Marga" di Batak, nama keluarga di Sulut disematkan secara turun temurun melalui garis keturunan laki-laki..

Suku Mongondow sangat menjunjung tinggi "Bobasaan" (read: bo-ba-sa-an) yaitu 'cara menyampaikan sesuatu.. Misalnya, kalau mau mengundang seseorang untuk suatu acara, harus datang langsung ke rumah orang tersebut dan menyampaikan maksudnya dengan bahasa yang jelas dan baik.. Pada intinya, suku Mongondow sangat menjunjung tinggi komunikasi antar sesama, jangan sampai ada kesalahpahaman.

Suku Mongondow khususnya, dan warga Sulawesi Utara umumnya, sangat senang berkumpul dan membuat acara-acara.. Jarang sekali acara dilaksanakan di Gedung dengan Catering/EO.. Kebanyakan acara seperti pesta,dll dilaksanakan di halaman rumah, dan yang memasak dan menyiapkan segala macam akomodasinya adalah para tetangga.. Tak heran jika suku Mongondow sangat menjaga hubungan bertetangga..

Suku Mongondow pun sangat cinta kebersihan.. Ini nyata, karena selalu saya lihat disini orang-orang senang bersih-bersih rumah, dari mulai pekarangan hingga ke dalam rumah.. Mereka punya slogan "Lipu Modarit, Lipu Mosehat" (Kampung bersih, Kampung sehat).. Kota Kotamobagu sudah beberapa kali mendapatkan piala Adipura hingga tahun 2018 ini..

Untuk bahasa memang cukup sulit, karena sangat jauh dengan bahasa kami.. Akan tetapi kami paham sedikit..
Ciri khas bahasa mongondow, huruf "R" dibaca samar seperti pengucapan R dalam bahasa Inggris.. Dan beberapa kata di Sulut adalah serapan dari bahasa Inggris..
Contoh:
Selimut = Blanket
Garpu = Fork
Korek Api = Matches, dll

Itu beberapa bahasa populer di Sulut..
Kalau bahasa asli mongondow contohnya seperti ini:
Moloben (dibaca 'moroben' dengan pelafalan R seperti bahasa Inggris) = Besar.
Mointok = kecil
Molunat = cantik
Mopatu = panas/gerah
Mongaan = makan
Dll..

Untuk masakan, jangan ditanya.. Masakan mongondow luar biasa lezat nyaa.. Lidah saya sangat cocok dengan masakan Sulut. Masakan Sulut kaya akan rempah-rempah dan citarasa pedas.. Makanannya membangkitkan selera.. Yang suka wisata kuliner, saya sangat rekomendasikan makanan khas Sulut.. nilainya 10/10👍👍👍
Ada beberapa masakan khas Sulut yang sudah bisa saya buat sendiri: Ikan Woku Blanga, Sayuran santan, Bubur Manado, Ikan Cakalang fufu Saus, dll..
Adapun masakan yang sangat saya sukai tapi belum coba masak sendiri:
Sambal (perpaduan kentang, kacang tanah, dan daging/ikan, digoreng pakai bumbu khas),
Rica-rica (Baik ayam, daging kambing, danging sapi),
Asam manis (sebenarnya gampang, tapi saya belum coba buat),
Sate garo (daging dipotong dadu2 dengan bumbu kacang khas, rasa bumbunya sangat berbeda dengan sate madura atau sate lainnya),dll..

Mungkin untuk kuliner akan saya buatkan thread khusus nantinya, karena Sulut sangat kaya dengan kuliner khas yang menggugah selera..

2. Suku Minahasa

Kalau suku ini pasti sudah sering dengar kan ya?? 😊 Yupp, suku Minahasa sangat identik dengan Manado, karena suku tersebut tinggal di Manado dan sekitarnya.. Suku Minahasa merupakan suku yang dominan di Sulut..

Suku minahasa memiliki ciri khas yang menonjol secara fisik.. Berbeda dengan warga Indonesia pada umumnya yang berkulit sawo matang dan perawakan mungil/standar, orang-orang di suku Minahasa berkulit putih dan perawakannya tinggi besar.. Selain itu kulit mereka rata-rata sangat mulus..

Sangat jarang kita temui suku Minahasa yang berkulit gelap, kecuali memang campuran dari suku lain atau terkena sinar matahari yang berlebih..

Tidak berbeda jauh dengan Suku Mongondow, orang-orang Minahasa senang berpesta dan bergotong-royong, membuat berbagai acara dan makan bersama..

Kalau saya perhatikan, baik Suku Mongondow dan Minahasa, mereka mudah sekali mengakrabkan diri.. Banyak berbicara dan bercanda.. Seringkali kalau kami datang ke suatu tempat yang sama sekali tak ada orang yang kami kenal, kami tak pernah merasa bosan.. Karena disana kami bertemu orang-orang dan mendengarkan mereka bercerita.. Kami tertawa bersama dan menikmati candaan mereka.. Padahal, itu mungkin pertama dan terakhirnya kami bertemu,, tapi rasanya sudah sangat dekat..

Membicarakan hal-hal yang tabu (bagi kami) adalah hal yang sudah biasa dibicarakan oleh mereka.. Mungkin karena mereka memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, yang jarang dimiliki oleh orang lain.. Namun, hal itulah yang secara tak langsung membuat kami merasa dekat meski baru pertemuan pertama..

Orang Minahasa terkenal sangat pandai memasak.. Kita sering mendengar, apapun bisa dimakan oleh mereka.. Saya sering bertanya-tanya, "bagaimana mungkin mereka memakan semua hewan itu? Yang baunya anyir dan sepertinya tidak enak."
Kuncinya adalah pada bumbu masakannya.. Ya, orang minahasa terkenal bisa membuat bumbu masakan yang luar biasa.. bisa menghilangkan bau anyir dan membuat hewan tersebut enak dimakan.. Saya tidak pernah ikut merasakan, hanya dengar saja.. (Karena kami punya batasan mengenai hewan yang halal dan haram)

Baik suku Mongondow maupun Minahasa sangat memperhatikan penampilan.. Mereka sangat modis dan fashionable.. Bahkan di desa-desa mereka tak ketinggalan tren fashion.. Apapun yang mereka kenakan nampak cocok bagi mereka,, tidak terlihat norak sama sekali..
Begitupun dengan make up..  Kebanyakan dari mereka senang memakai make up dan merawat wajah dan tubuh mereka.. jadi, selalu terlihat bersih dan tidak kusam.. Saya salut dengan orang Sulut yang piawai dalam menjaga kebersihan diri.. Mereka wangi dan selalu terlihat fresh.. 👍👍👍

Nah untuk FAM minahasa yang saya tahu: Mandagi, Tawaa, Masengi, Sondakh, Karamoy, Wowor, Haling, Tahari, Sigar, Tambayong, Tuuk, Tahari, dan banyak lagi yang lainnya.. Biasanya selebritas tanah air dari Sulut kebanyakan orang Minahasa..

3. Suku JaTon

Nah, ada yang namanya suku Jaton ya?? Yuppp.. Jaton adalah singkatan dari Jawa-Tondano.. Tondano adalah nama tempat di daerah Minahasa.. Ini menarik karena suku ini merupakan campuran dari suku Jawa dan Minahasa yang kemudian menjadi suku tersendiri.. Masya Allah.. Indonesia kaya ya??? 🇮🇩

Sejarah singkatnya adalah pada zaman penjajahan Belanda, penasihat setia Pangeran Diponegoro, yaitu Kyai Modjo diasingkan oleh Belanda ke tanah Minahasa.. Kalau kita sering baca sejarah, kita pasti tahu betul bahwa Sulawesi Utara dahulu sering dijadikan tempat pengasingan para pejuang.. Kemudian, para pejuang yang diasingkan ini berbaur dengan suku asli setempat dan mulai melakukan pernikahan sehingga menghasilkan banyak keturunan.. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suku Jaton..

Setelah suami dimutasi ke Desa Doloduo II, Kec. Dumoga Barat, 2 tahun lalu, maka kami pun banyak bergaul debgan suku Jaton.. Suku Jaton juga memiliki nama keluarga/ FAM,, diantaranya Kiay Modjo, Kiay Mastari, Tajeb/Thayeb, Mashanafi, Lakoro Maspeki, dll

Karena memiliki darah pejuang, orang Jaton memiliki kemauan yang keras dan semangat yang kuat.. Kebanyakan orang jaton sangat vokal dan cerdas..

4. Suku Gorontalo

Meskipun Gorontalo merupakan provinsi diluar Sulawesi Utara, namun dahulu Gorontalo merupakan bagian dari Sulut, sehingga keberadaab suku Gorontalo di Sulut sudah seperti suku asli.. Contohnya di daerah Bolaang Mongondow Selatan perbatasan dan Bolaang Mongondow Utara perbatasan, nama-nama tempat dan bahasa diambil dari nama-nama atau bahasa Gorontalo..

Suku Gorontalo memiliki legenda yang menyebutkan bahwa leluhur mereka berasal dari keturunan hulontalangi, atau orang yang turun dari langit, dan awalnya berdiam di gunung Tilongkabila, Bone Bolango.. Nama Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan Gorontalo..

Suku ini memiliki bahasa dan dialek tersendiri, namun sampai saat ini saya belum paham bahasanya.. Mayoritas suku Gorontalo beragama Islam.. Dan seperti suku lainnya, mereka senang bergotongroyong dan memiliki jiwa sosial yang tinggi..

Untuk makanan khas nya tak kalah juga.. Saya sangat menyukai Binthe Biluhuta atau biasa disebut Milu Siram,, dan Ilabulo (orang mongondow menyebutnya Inambal).. ilabulo ini enak sekali, suami saya sampai punya penjual langganan.. harganya pun murah.. hanya 3ribu..

Bila penasaran,, silahkan googling dulu . Hehehheeh

5. Suku Sangir (dibaca Sanger)

Suku sangir merupakan suku asli di Sulawesi Utara.. Orang sangir membangun perkampungan di tepi laut dekat muara sungai.. Sebagian lagi memilih tinggal di lereng-lereng bukit atau pegunungan.. Kebanyakan bekerja sebagai nelayan di laut, dan sebagian memperoleh hasil pertanian di ladang..

Orang sangir dikenal sangat pemberani dan menguasai lautan.. Memang suku sangir banyak berdiam di kepulauan-kepulauan di daerah Sulut.. itu lhoo,, yang pulau-pulau kecil dekat Philipina.. hebat yaaa?

Tak banyak yang saya ketahui tentang suku sangir, hanya ada dua orang kakak beradik yang saya kenal bermarga Hontong..

***********

Selain suku-suku Asli di Sulawesi Utara, banyak juga suku pendatang yang merantau dan tinggal disini.. Jumlahnya pun sangat banyak, yaitu Suku Bugis, suku Jawa, Bali, dan bahkan Sunda pun ada.. 😊

Suami saya pun pernah bertemu dengan Suku Borgo, suku asli keturunan Portugis..

Kalau sering lihat videonya pak Presiden RI (Jokowi) saat blusukan, Jokowi sering menyebutkan ada begitu banyak Suku di Indonesia, dan selalu meminta menyebutkan 5 saja yang kita ketahui.. Seandainya saya ikutan, mungkin saya bisa dapat sepeda.. hehehehhe

Sangat bersyukur bisa tinggal dan menetap disini.. Banyak ilmu yang kami dapatkan dan pengalaman yang tak ternilai harganya.. Keberagaman bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang harus kita syukuri bersama..

Tuhan begitu kuasa menciptakan bangsa yang sangat beragam ini.. Dengan berbagai bahasa, karakter, dan kebudayaannya, namun bisa membentuk satu bangsa yang besar.. Salut kepada pemimpin negeri yang mampu mengayomi semua kalangan tanpa memandang suku, bahasa dan agama..

Semakin kita menggali, semakin banyak yang kita temukan..

Cinta Sulawesi Utara, Cinta Indonesia 💗💗💗💗💗

*Nb: ingin nambah foto-foto tapi harus cari2 dulu di memori 😁