Tuesday 24 January 2017

Marie Eugenie vs Marie Anne: Kecemerlangan vs Kekurangan

Di postingan kali ini saya akan menyuguhkan dua kisah yang akan dijadikan perbandingan

Kisah tentang Marie Eugenie istri dari Napoleon III

Marie Eugenie Ignac Agustine de Montiyo adalah wanita paling cantik di selruh dunia pada masanya. Ia merupakan anak dari Adipati Spanyol yang tak begitu terkemuka. Kejelitaan, keindahan, dan sikapnya yang menawan membuat Napoleon III dari Prancis jatuh cinta padanya.

Naoleon  dan permaisuinya danugerahi kesehatan yang baik, dicintai, dan dikagumi. Naoleon berhail menjadikan Eugenie seorang maharatu. Namun, Marie Eugenie memiliki sifat iri dan dengki yang tak dapat disembuhkan bahkan oleh cinta, kekuasaan, dan singgasananya.

Marie Eugenie menjadi setengah gila karena iri hati dan cemburu. Ia tenggelam dalam kecurigaan dan menolak usul-usul suaminya. Raja Napoleon III tak bisa sendirian karena dimanapun ia berada, Eugenie harus selalu ada di sampingnya. Jika sang Raja sedang membicarakan urusan-urusan negara di ruang kerjanya, Eugenie memaksa harus masuk. Ia takut sang Raja menaruh hati pada wanita lain.

Kadang-kadang ia mengadu pada kakak perempuannya tentang suaminya. Ia menangis dan mengancam-ngancam. Ia pun meyerbu masuk ke kamar suamiya dan membuat kegaduhan. Ia meghina-hina suaminya. Napoleon pemilik sepuluh istana, tak mempunyai suatu lemaripun yang ia bisa kuasai sendiri.

Maka dari itu, Napoleon pada malam hari kadang-kadang meninggalkan istananya, lewat pintu belakang. Ia mengenakan topi vilt yang ditutupkan di atas matanya, dan bersama kepercayaannya mengunjungi seorang wanita yang menunggunya. Akan tetapi, kadang-kadang ia pun seperti masa-masa dulu. Menjelajahi lorong-lorong sambil merenungkan nasibnya yang malang itu.

Kisah tentang Mary Anne, istri Disraeli

Disraeli menjadi bujangan hingga umur 35 tahun di Inggris. Kemudian ia menikahi janda kaya yang umurnya 15 tahun lebih tua darinya. Rambutnya sudah putih karena sudah berumur 50 tahun. Tidak muda, tidak cantik, dan tidak juga intelek. Sebaliknya, Mary Anne selalu mengalami kesalahan saat berbicara di bidang grammatika dan sejarah, sehingga banyak yang menertawakannya. Ia tak tahu, mana yang lebih dulu muncul di panggung sejarah, orang-orang Yunani atau Romawi.

Pakaiannya agak aneh, rumahnya juga aneh. Orang-orang melihatnya sebagai orang yang bodoh. Namun, dalam pernikahan, ia cukup gemilang. Ia tahu bahwa ia tak cukup pintar seperti suaminya. Jika Disraeli pulang dari memperbincangkan urusan-urusan negara, agak muram dan tak bersemangat, maka Mary Anne tak mengganggunya dengan pertanyaan yang bukan-bukan. Ia mempersilahkan suaminya beristirahat. Rumahnya menjadi tempat bagi suaminya untuk melepas lelah dan mengistirahatkan otaknya. Disraeli merasa bahagia jika berada di rumah bersama istrinya.

Mary Anne adalah pembantu, kepercayaan, dan penasihatnya. Setiap malam Disraeli cepat-cepat pulang dari parlemen untuk menyampaikan berita hangat kepada istrinya. Istrinya selalu memberikan dukungan dan semangat pada suaminya.

30 tahun lamanya, Mary Anne hidup semata-mata untuk Disraeli. Ketika diangkat menjadi Lord, Disraeli memeluk istrinya dan berkata, "Sayangku, sekarang engkau adalah Lady Beaconfield."

Betapapun bodoh dan anehnya istrinya itu, Disraeli tidak pernah berkata apa-apa. Tak pernah ia menunjukkan kesalahan-kesalahan istrinya walau dengan satu kata pun. Mary Anne dan Disraeli, saling memuji satu sama lain. Tak ada yang merasa dikekang. Tak ada pula yang ingin merubah sifat yang lain.

----------

Dari dua kisah diatas kita bisa membandingkan, bahwa harta dan kekuasaan bukanlah tolok ukur kebahagiaan. Harta dan kekuasaan tak mampu menyembuhkan sifat iri hati dan cemburu seseorang. Kejelitaan dan keindahan paras tak bisa mengobati perasaan tertekan.

Kisah Marie Eugenie cukup menjadi bukti nyata, bahwa api cinta yang membara di awal lambat laun akan redup dan menyisakan abu. Pasangan paling serasi yang diidamkan justru saling merasa kesepian. Masing-masing merasa tertekan. Yang satu tertekan oleh kecemburuan, yang satunya lagi tertekan oleh pengekangan. Membaca kisahnya menimbulkan kesedihan dan rasa iba yang mendalam.

Lain halnya dengan Mary Anne, yang dengan segala kekurangannya, ia mengantarkan suaminya menuju gerbang kesuksesan. Kulitnya yang sudah keriput termakan usia justru menjadi pelepas lelah suaminya. Bahkan kebodohan dan ketidak-tahuannya tak membuat suaminya malu dan bahkan tak ingin merubahnya. Bukankah kisah kedua ini yang menjadi dambaan kita semua?

No comments:

Post a Comment