Friday 25 November 2016

This is The First Time

Sudah beberapa bulan terakhir pikiran saya dipenuhi dengan keinginan-keinginan yang dilematis. Salah satunya adalah keinginan saya untuk menutup sebagian besar wajah saya. Atau biasa orang menyebutnya bercadar. Sebenarnya keinginan ini sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu, saat baru-baru menikah. Hanya saja seiring berjalannya waktu, keinginan ini urung dengan sendirinya karena banyak faktor, diantaranya kesiapan diri saya pribadi dan juga respon lingkungan sekitar.

Saya percaya bahwa banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk bercadar, namun banyak juga dalil-dalil yang membolehkan untuk tidak bercadar. Jadi, pilihan itu tergantung dari diri kita masing-masing. Sayangnya, untuk urusan ini saya sangat sangat penuh dengan pertimbangan. Banyak sekali pertanyaan demi pertanyaan yang ada dalam benak saya.
"Kalau saya bercadar apa orang-orang akan memandang saya dengan tatapan aneh?"
"Apa saya harus mengecilkan volume suara saya kalau saya bercadar?"
"Apa saya bisa konsisten? Takutnya bosan dan membuka cadar saya."

Bahkan sampai hal-hal yang tidak terlalu prinsip pun berkecamuk dalam benak saya, seperti:
"Bagaimana nanti kalau makan di tempat umum? Cara makannya gimana? Ribet ga ya??"

Bagi saya yang sudah bersuami pasti meminta pendapat dan saran suami. Karena walau bagaimanapun saya harus menuruti apa kata suami. Tapi anehnya, setelah bertanya-tanya pada suami malah buntu. Ketika saya mengungkapkan keinginan saya untuk bercadar, suami malah jawab, "Ya terserah kamu aja." Itu kata terserah malah bikin saya makin galau. Gimana sih? Kalau dia maunya saya pake cadar, ya bilang donk. Kalau dia ga mau saya bercadar, ya bilang juga lah dengan jelas. Kalau terserah, malah jadi makin bingung..     "zonk moment"

Setelah dipikir matang-matang sambil memohon petunjuk dari Allah, saya memutuskan untuk mencobanya. Niat saya ini semakin kuat ketika melihat istri dari Khalifatul Masih V ABA yang juga bercadar. Seandainya, cadar itu tidak ada dalam Islam, seharusnya beliau tidak bercadar juga. Kalau dengan alasan kultur dan kebiasaan yang berbeda antar negara, saya rasa bukan alasan yang tepat juga karena Islam adalah agama yang universal tanpa memandang suku bangsa, warna kulit, bahasa, kultur daerah,dll.

Tekad ini saya mulai dengan menghapus foto-foto yang menunjukan wajah saya di instagram. Lumayan banyak juga foto yang saya hapus, sejak 2012. pegel jempol. Astaghfirullahal adzim, ternyata banyak sekali foto-foto wajah saya yang seharusnya tidak saya tampakkan. Sudah ada edaran dari huzur untuk tidak posting foto pribadi dan keluarga, masih aja ngeyel. Maafkan. Heuuu

Sambil tarik napas dalam-dalam, dan dikeluarkan perlahan, saya mulai mencoba memakai jilbab seperti biasanya. Pakai peniti di bawah dagu. Namun sekarang jilbab segi empat ini saya tarik ke arah telinga kanan, lalu dikunci dengan jarum pentul, setelah itu ditarik menutupi wajah saya (bagian lubang hidung ke bawah), kemudian dikunci sisi lainnya dengan jarum pentul di dekat telinga kiri. Tadaaaaa... cuma kelihatan matanya saja..

Jantung saya berdebar kencang sambil melihat cermin dengan seksama. Bismillahirrahmanirrahim. Mudah-mudahan kuat menghadapi respon orang-orang. Walaupun sebenarnya penampilan saya tidak jauh beda dengan penampilan seperti biasanya.. Tidak memakai abaya dan khimar yang membungkus semuanya dg warna-warna gelap solid. Saya memakai baju seperti biasa, bahkan pakai celana. Jibab segi empat biasa ukuran 115x115cm. Hanya saja wajahnya sebagian besar ditutup kecuali bagian mata. Tapi kenapa deg degannya seperti mau ujian skripsi. Koq rasanya berat. Ya Allah, kenapa saya dipenuhi dengan rasa takut dan ragu? Kuatkanlah hamba Ya Allah..

Pas banget saat saya bercermin, Saleha lagi berdiri-berdiri sambil pegangan di kaki saya. Saya angkatlah dia untuk melihat saya di cermin. Eh dia malah cengir-cengir ketawa ketawa. Kenapa neng? Ibu keliatan lucu yah??? Heu.. Keluar dari kamar, suami saya liat dengan agak kaget, trus bilang, "cantik." Huhuhu.. Cuma keliatan matanya aja koq bilang cantik? Hehehehehe

Dan pengalaman pertama saya bercadar adalah di pasar. Pasar yang ramai. Pasar yang banyak orang. Dan karena disini rata-rata orang Nasrani, rasanya makin kenceng aja debaran jantung saya. Sesuai dugaan, banyak yang lihat saya dengan tatapan aneh. Lama kelamaan saya sudah terbiasa, belanja dan berkeliling pasar. Akhirnya kuat sampai pulang.

Inilah pertama kali saya pakai cadar. Saya masih akan terus mencobanya sampai saya terbiasa memakainya. Saya salut pada wanita-wanita yang sudah lebih dulu dan lebih awal bercadar, terutama di Indonesia, dimana penampilan seperti itu masih dianggap tabu. Anda semua benar-benar wanita kuat dan hebat. Doakan saya semoga konsisten dengan pilihan saya.

Untuk teman-teman yang belum bercadar, santai saja. Bukan berarti tidak bercadar itu salah. Saya sudah katakan di awal bahwa ini hanyalah pilihan masing-masing. Kalian sudah menutup aurat dengan baik koq. Dan yang terpenting bukanlah bercadar atau tidaknya, tapi bagaimana sikap kita yang benar-benar mencerminkan bahwa kita adalah wanita muslim, itu yang terpenting. Setidaknya dengan menutup aurat, kita sudah selangkah lebih maju (dari yang lain yang belum berjilbab) untuk serius mengamalkan perintah Allah Swt.

Perlu diingat yaaa.. Berjilbab itu perintah Allah yang sudah jelas-jelas tertuang dalam Al-Qur'an. Masih mau menyangkal???

No comments:

Post a Comment